Review Film Jomblo 2017 : Remake yang Tidak Perlu
Review Film Jomblo 2017 : Remake yang Tidak Perlu
Rumah produksi Falcon Pictures mendaur ulang (remake) film memorable tahun 2000-an, Jomblo (2006). Tapi jika menilai hasilnya, sepertinya itu tak perlu. Simak alasannya dalam review Jomblo (2017) berikut.
Film Jomblo 2006 sudah terbukti berhasil meninggalkan kesan bagi penontonnya, apalagi bagi para remaja angkatan tahun 2000-an. Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Adhitya Mulya tersebut sukses karena berhasil mengangkat kisah para cowok fakir asmara dalam balutan genre drama-komedi.
Saking populernya film ini sebelas tahun lalu, ia sampai dibuatkan serial Jomblo The Series yang ditayangkan di RCTI. Sementara itu, jajaran aktornya juga dipuji lewat nominasi Piala Citra untuk pemeran pria terbaik dan pemeran pembantu pria terbaik. Masing-masing untuk Ringgo Agus Rahman dan Dennis Adhiswara.
Jadi mudah untuk dibayangkan seberapa berat beban sutradara Hanung Bramantyo dalam mendaur ulang filmnya sendiri ini. Sayangnya, jika diharuskan menilai film daur ulang ini dari kacamata nostalgia, Jomblo (2017) jauh dari kata memorable.
Pun juga jika melihatnya sebagai satu film utuh, ia juga tidak berkesan-berkesan amat. Apalagi Bramantyo memang ingin membuat film ini utuh dan terpisah dari film originalnya.
“(Saya) melarang untuk ketemu dengan empat (aktor) Jomblo yang senior untuk menanggulangi beban. Pasti ada unsur membanding-bandingkan,” ujar Bramantyo.
Mengenai asumsi bahwa film daur ulangnya ini tak sebagus film originalnya, ia juga pasrah. “Kayak novel dan film, saya bisa bandingkan, itu kan teks. Tapi kan itu film sama film saya enggak bisa ngelak kalau ada yang bilang lebih bagus yang pertamanya ya, saya pasrah. Itu silahkan saja pendapat teman-teman,” tandasnya
Jadi, mengapa mendaur ulang film yang bahkan sutradaranya sendiri pun tidak percaya diri? Sebelumnya, Bramantyo punya dua alasan untuk daur ulang. Pertama, ia ingin membalikkan persepsi nista tentang jomblo. Bramantyo tampaknya cukup murah hati sekali memperhatikan nasib para jomblo di dunia ini sampai harus diselamatkan lewat film.
Kedua, ia ingin memperbaiki akhir film Jomblo (2006). Akhir dari film originalnya itu memang boleh dibilang kurang memuaskan. Tapi barangkali ada hal lain bagi Bramantyo yang menjadikan alasan tersebut begitu mendesak. Who knows?